TANA CINA DALAM NASKAH I LA GALIGO



TANA CINA DALAM NASKAH I LA GALIGO


Bila kita berbicara Tana Cina  maka kita akan berpikir mengenai Sawerigading yang bertemu dengan istrinya We Cudai dalam naskah I La Galigo. Apakah benar, Sawerigading ke Tana Cina, negara terbesar di Asia yang juga bernama Tiongkok? Tempat ini tercatat dalam naskah I La Galigo, sebagai tempat atau negeri We Cudai.  Tapi yang menjadi persoalan dalam dalam kisah Sawerigading yang berangkat dari Tana Luwu menuju ke Tana Cina untuk menemukan pendamping hidupnya betul di Tiongkok atau di Sulawesi Selatan sendiri.  Ada dua pendapat yang lahir dalam cerita Sawerigading dengan We Cudai mengenai Tana Cina yang dimaksud.

Pendapat pertama memercayai bahwa Sawerigading dengan perahunya  sampai ke Tana Cina (Tiongkok) untuk menemui istrinya yakni We Cudai. Waktu yang digunakan ke Tana Cina oleh Sawerigading masuk akal dalam pelayaran untuk kesana. Ada pun nama We Cudai, dipercayai sebagai nama yang berasal dari bahasa Cina bukan  bahasa Bugis karena bunyi Ca atau Cu atau Ci, yang tak terdapat dalam bunyi bahasa Bugis. Bunyi ini berasal dari bunyi bahasa Cina, seperti, Cawan, Cudai, dan lain-lain.

Sedangkan pendapat lain bersebrangan dan menolak dengan pendapat yang pertama yang menyatakan bahwa Tana Cina yang dimaksud betul-betul Negeri Cina (Tiongkok). Pendapat ini menyatakan bahwa lingkungan Cina yang dimaksud dalam naskah I La Galigo yakni di Sulawesi Selatan sendiri (dalam Kabupaten Bone sekarang). Memang dalam lingkup Sulawesi Selatan terdapat wilayah yang bernama Cina yang sekarang menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Bone.

Tapi tidak dapat kita pungkiri dalam naskah I La Galigo yang menceritakan perjalanan Sawerigading dengan istrinya We Cudai yang bertemu di Tana Cina memberikan gambaran kepada kita bahwa pengaruh peradaban Cina di Nusantara terutama di Sulawesi Selatan sudah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Sealatan  dalam abad IX-X Masehi.

Menurut Mattulada dalam bukunya Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (1998), bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk dugaan dan perkiraan historis ke dalam mitos atau legenda itu, bahwa sesungguhnya Sawerigading merupakan seorang panglima perang Kubillai Khan yang melakukan serangan Jawa atas Kertanegara dalam abad ke-9. Karena serangan yang gagal, maka Sawerigading takut kembali ke negerinya di Cian-Tiongkok. Maka ia mengembara menuju Timur Nusantara, dan menjadi seorang tokoh legendaris dalam masyarakat Sulawesi.

Menurut Mattulada (1998), bahwa simbol-simbol atau lambang-lambang zaman Sawerigading dapat dikatakan identik dengan tanda-tanda dalam zaman tokoh-tokoh Cina dan kemudian ditambah dengan nilai-nilai Hindu-Budha yang tersebar ke seluruh Nusantara.

Comments