Pangadereng
![Hasil gambar untuk pangadereng bugis bone](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqW9I6g7kx6o-bQEN1LeHGLOw9ajLtBnpBpuKsSY19RI-weEQhdwAS3RC38Rp2iaXgq5oxtLeKRfQ5DoMFLl_qbvCWeccJTIKNYkwnLPWT-kw1vK0gcUOaFYyh6xTIBoOSCi9crj_Ix4U/s320/IMG-20180218-WA0050.jpg)
Dalam
menata sistem tatanan masyarakat di Sulawesi Selatan dikenal sebuah konsep
dasar dalam menata masyarakat yang disebut Pangadereng. Seringkali orang
memahami Pangadereng sebagai aturan-aturan adat dan norma saja. Pangaderang,
meliputi, hal-hal yang ideal, yang mengandung nilai-nilai, norma-norma, juga
meliputi hal-hal yang menyangkut perilaku seseorang dalam kegiatan sosial,
bukan saja merasa “wajib” melakukannya, melainkan lebih dari pada itu, ialah
adanya semacam kesadaran yang amat mendalam, bahwa seseorng itu adalah bagian
integral dari Pangadereng. Pangadereng adalah bagian dari diri dan hayatnya
sendiri dalam perlibatan keseluruhan makna kehidupan berpikir, merasa dan
berkemauan yang menjelma dalam kelakuan
dan hasil kelakuannya. Itulah mungkin yang disebut “panghayatan dan pengalaman Pangadereng seutuhnya”.
Pangadereng,
dengan demikian adalah aktualisasi seseorang (individu) memanusiakan diri, dan
realisasi perwujudan masyarakat membangun interaksi manusia dengan sesamanya
dan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pangadereng itulah wujud Kebudayaan
orang Sulawesi Selatan. Manusia sebagai individu (orang seseorang) sebagai
bagian dari Pangadereng itu, pendukung kebudayaan nya, ia terjelma menjadi
pribadi Siri’, iapun bermatabat dan berharkat memikul tanggung jawab untuk
mempertahankanya, dengan segala apa adanya. Dengan Siri’ itu seseorang membawa interaksi dengan sesamanya. Dalam
interaksi dan kebersamaan itu terjelma pesse atau pacce (selanjutnya kita pakai
Pesse dengan alasan teknis semata-mata). Ialah satu sikap yang setara dengan
Siri’ dalam memelihara kebersamaan atau solidaritas antar pribadi Siri’ dalam
kesadaran sikap
koligial.
Siri dan
Pesse, menyatu dalam kesadaran makna atau aktualitas dari apa yang disebut
manuasia (tau) yang hanya mungkin mengaktualisasi dirinya, karena adanya
manusia lain. Terbentuknya pola-pola umum Pangadereng iyu mengikuti polarujukan
yang terdapat dalam Kerajaan Tellumpoccoe yaitu Luwu, Gowa, dan Bone, sebagai
negeri yang dipandang kedudukan sebagai “kakak” oleh negeri-negeri atau
kerajaan-kerajaan yang lain dalam kalangan orang Bugis, Makassar, Toraja dan
Mandar.
Unsur-unsur
material dalam Pangadereng:
a.
Ade:
adalah salah satu unsur Pangadereng, yang mendinamisasi kehidupan masyarakat,
karena meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan
bermasyarakat. Berarti, ade’ merukana tata-tertib yang bersifat normatif,
memberi pedoman kepada sikap hidup dalm menghadapi, menanggapi, dan menciptakan
hidup kebudayaan, baik ideologis, mental spiritual, maupun fisik.
b. Bicara:
adalah unsur dari Pangadereng yang bertalian dengan segala kegiatan dan
konse-konsep yang bersangkut-paut dengan masalah peradilan.
c.
Rapang:
unsur atau bagian dari Pangadereng, yang berarti, contoh, perumpamaan, kias,
atau analog. Sebagi unsur atau bagian dari Pangadereng, maka rapang bertugas
menjaga kepastian dan kesinambungan dari satu keputusan hukum taak tertulis
dari masa lampau sampai sekarang, dengan kasus yang sedang berlangsung.
d. Wari:
unsur Pangadereng yang menata
klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan segenap aktivitas dalam kehidupan
bermasyarakat. Misalnya, dalam memelihara tata-susunan dan tata-penetapan
hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat, untuk memeliharahubungan
kekerabatan antara raja dengan raja-raja dari negara lain, sehingga dapat
ditentukan mana yang tua dan yang muda dalam tatanan upacra kenegaraan atau
kebesaran lainnya.
Dalam perjalanan
konsep Pangadereng, setelah masuknya Islam pada abad ke-17 di sulawesi Selatan
unsur-unsur material Pangadereng ditambahkan satu unsur lagi yakni Sara’ yang
menguatkan syariat Islam dalam menata tatanan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Sumber:
Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Hasanuddin University Press.
Comments
Post a Comment