konsep Tatanan Masyarakat Sulawesi Selatan "Pangadereng"


Pangadereng
Hasil gambar untuk pangadereng bugis bone

Dalam menata sistem tatanan masyarakat di Sulawesi Selatan dikenal sebuah konsep dasar dalam menata masyarakat yang disebut Pangadereng. Seringkali orang memahami Pangadereng sebagai aturan-aturan adat dan norma saja. Pangaderang, meliputi, hal-hal yang ideal, yang mengandung nilai-nilai, norma-norma, juga meliputi hal-hal yang menyangkut perilaku seseorang dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “wajib” melakukannya, melainkan lebih dari pada itu, ialah adanya semacam kesadaran yang amat mendalam, bahwa seseorng itu adalah bagian integral dari Pangadereng. Pangadereng adalah bagian dari diri dan hayatnya sendiri dalam perlibatan keseluruhan makna kehidupan berpikir, merasa dan berkemauan yang  menjelma dalam kelakuan dan hasil kelakuannya. Itulah mungkin yang disebut “panghayatan dan  pengalaman Pangadereng seutuhnya”.
Pangadereng, dengan demikian adalah aktualisasi seseorang (individu) memanusiakan diri, dan realisasi perwujudan masyarakat membangun interaksi manusia dengan sesamanya dan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pangadereng itulah wujud Kebudayaan orang Sulawesi Selatan. Manusia sebagai individu (orang seseorang) sebagai bagian dari Pangadereng itu, pendukung kebudayaan nya, ia terjelma menjadi pribadi Siri’, iapun bermatabat dan berharkat memikul tanggung jawab untuk mempertahankanya, dengan segala apa adanya. Dengan Siri’ itu seseorang  membawa interaksi dengan sesamanya. Dalam interaksi dan kebersamaan itu terjelma pesse atau pacce (selanjutnya kita pakai Pesse dengan alasan teknis semata-mata). Ialah satu sikap yang setara dengan Siri’ dalam memelihara kebersamaan atau solidaritas antar pribadi Siri’ dalam kesadaran sikap 
koligial.

Siri dan Pesse, menyatu dalam kesadaran makna atau aktualitas dari apa yang disebut manuasia (tau) yang hanya mungkin mengaktualisasi dirinya, karena adanya manusia lain. Terbentuknya pola-pola umum Pangadereng iyu mengikuti polarujukan yang terdapat dalam Kerajaan Tellumpoccoe yaitu Luwu, Gowa, dan Bone, sebagai negeri yang dipandang kedudukan sebagai “kakak” oleh negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan yang lain dalam kalangan orang Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar.

Unsur-unsur material dalam Pangadereng:
a.       Ade: adalah salah satu unsur Pangadereng, yang mendinamisasi kehidupan masyarakat, karena meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat. Berarti, ade’ merukana tata-tertib yang bersifat normatif, memberi pedoman kepada sikap hidup dalm menghadapi, menanggapi, dan menciptakan hidup kebudayaan, baik ideologis, mental spiritual, maupun fisik.
b.     Bicara: adalah unsur dari Pangadereng yang bertalian dengan segala kegiatan dan konse-konsep yang bersangkut-paut dengan masalah peradilan.
c.       Rapang: unsur atau bagian dari Pangadereng, yang berarti, contoh, perumpamaan, kias, atau analog. Sebagi unsur atau bagian dari Pangadereng, maka rapang bertugas menjaga kepastian dan kesinambungan dari satu keputusan hukum taak tertulis dari masa lampau sampai sekarang, dengan kasus yang sedang berlangsung.
d.     Wari:  unsur Pangadereng yang menata klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan segenap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, dalam memelihara tata-susunan dan tata-penetapan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat, untuk memeliharahubungan kekerabatan antara raja dengan raja-raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan yang muda dalam tatanan upacra kenegaraan atau kebesaran lainnya.

Dalam perjalanan konsep Pangadereng, setelah masuknya Islam pada abad ke-17 di sulawesi Selatan unsur-unsur material Pangadereng ditambahkan satu unsur lagi yakni Sara’ yang menguatkan syariat Islam dalam menata tatanan masyarakat di Sulawesi Selatan.

Sumber: Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press.

Comments