Menhir di Sulawesi Selatan


Menhir di Sulawesi Selatan
menhir di Toraja
Secara etimologi istilah menhir bersal dari bahasa Breton, yaitu dari kata “men” berarti batu dan “hir” berarti berdiri. Dengan demikian menhir berarti batu berdiri atau batu tegak. Secara tertiminologis, menhir adalah sebuah batuk tegak, baik yang yang sudah ataupun belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat yang berfungsi sebagai batu peringatan dalam hubungannya dengan pemujaan arwah leluhur (Soejono, 1984; Sukendar, 1993; Duli, 2016).

Menurut Sekundar (1981), bahwa menhir mempunyai fungsi sebagai sarana untuk meletakkan senjata pada waktu ada upacara tertentu, sebagai lambang adat, dan sebagai saran untuk menyimpan tengkorak raja atau pemimpin suku.

Di Toraja Sulawesi Selatan, menhir menunjukkan adanya perbedaan bentuk fungsi, tata letak, dan komposisi yang ternyata merefleksikan fungsi yang berbeda-beda. Berdasarkan penamaan masyarakat Toraja, maka menhir-menhir tersebut dapat dibagi atas empat jenis, yaitu menhir basse, menhir jenis tumpuang, menhir jenis pesungan banek, dan menhir jenis simbuang (Duli, 2016).
  •  Menhir basse, berfungsi sebagai medium dalam upacara yang berhubungan dengan perjanjian dalam keterkaitannya dengan hubungan sesama manusia maupun dengan yang adhi kodrati dan dianggap sebagai perwujudan dari dewa tertinggi (Puang Matua).
  •  Menhir tumpuang, berfungsi sebagai penolak balah, yang biasanya diletakkan pada batas ruang tertentu, misalnya pada batas perkampungan atau batas ruang sakral dengan profan.
  •  Menhir pesungan banek, berfungsi sebagai medium dalam pelaksanaan upacara yang bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia.
  •  Menhir simbuang, didirikan di Rante pada saat seorang tokoh meninggal tersebut. Namun tidak semua bangsawan yang meninggal didirikan simbuang, tapi hanya bangsawan yang pernah menduduki jabatan sebagai pemimpin.
menhir berfungsi sebagai nisan
Situs-situs megalitik lainnya yang terdapat menhir di Sulawesi Selatan, seperti Pantilang dan Kanna (Luwu), Tinco dan Umpungeng (Soppeng), Lampung PatuE dan Bulu Garaccing (Bone), Gojeng, Karampuang, dan Bulu Bapejang (Sinjai), Bulo-Bulo (Bulukumba), Bissorang (Selayar), dan Buntu Asu (Enrekang) (Duli, 2016).

Comments