Possi Tana sebagai kiblat kepercayaan Bugis Kuno


Possi Tana sebagai kiblat kepercayaan Bugis Kuno

Di Sulawesi Selatan, penemuan kebudayaan megalitik dapat kita dapatkan, baik itu menhir, peti mayat, dan batu temu gelang (stone enclosure) . Yang menarik dari kebudayaan megalitik di Sulawesi Selatan yakni batu temu gelang pada kalangan masyarakat Bugis disebut sebagai possi’ tana/butta yang berarti sebagai pusat kampung atau sebuah daerah.  Batu temu gelang merupakan pola penempatan susunan batu melingkar dengan ditengahnya diletakkan satu altar batu (Hasanuddin, 2016).

Batu temu gelang atau possi’ tana di Sulawesi Selatan dapat kita lihat di Bantaeng, Bulukumba, Selayar, dan Selayar. Menurut Hasanuddin (2016), bahwa masyarakat Bugis memiliki konsep kepercayaan dengan menandai titik pusat dari segalanya dan merupakan titik pusat kekuatan sekaligus titik kelemahan suatu daerah atau wanuwa.

Masyarakat Bugis memfungsikan Possi’ tana sebagai pusat pelaksanaan religi dan menjadikannya sebagai tempat sakral. Lokasi ini digunakan sebagai tempat upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian, yaitu memohon kepada leluhur agar  hasil panen untuk satu musim tanam berjalan menghasilkan padi yang lebih bagus dan tempat ini sering digunakan sebagai tempat upacara dengan memotong ayam, kambing, kerbau/sapi (Hasanuddin, 2015).


Di Kabuputen Bulukumba kita bisa menemukan Possi’ tana/butta yang terletak di desa Mattoanging, Kecamatan Kajang, Bulukumba pada kedudukan GPS S 05° 18' 54,8" dan T 120° 20' 5,54" dengan ketinggian 144 meter di atas permukaan laut. Jarak lokasi dari Tana Toa (Kajang) adalah ± 14 km. Lokasi ini digunakan sebagai tempat pelantikan raja/ketua suku.

Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti Balar Makassar, Hasanuddin (2015), bahwa di lokasi telah ditemui sebuah batu temu gelang berbentuk struktur batu yang disusun dari batu kapur yang terletak di bawah dasar. Tinggi susunan batu adalah 92 cm, tebal bagian atas 50 cm dan bagian bawah 78 cm, berdiameter 678 cm dengan pintu masuk terletak di bagian barat dengan ukuran lebar 80 cm. Di bagian tengah terdapat dua batu altar yang terletak secara berdekatan yang berbentuk segi empat 
dan salah satu di antaranya memiliki panjang 88 cm, lebar 73 cm dan tebal 9 cm.

Sedangkan penemuan batu temu gelang juga ditemukan di Bantaeng yang di yakini sebagai tempat menghilangnya To Manurung atau raja pertama Karaeng Loe, dan tempat ini juga dinamakan oleh masyarakat Bantaeng dengan sebutan Pallayangang (menghilang). Dan sekitar 100 meter dari pallayangang, pun ditemukan batu temu gelang yang disebut oleh masyarakat sekitar passaungan tauwa. Lokasi ini dulu digunakan sebagai lokasi untuk dilakukannya pertarungan yang bertujuan untuk memilih panglima perang (bongga kanang) (Hasanuddin, 2015).


 Sumber:
 Hasanuddin, 2015. Kebudayaan Megalitik di Sulawesi Selatan dan Hubungannya Dengan Asia Tenggara. Tesis, Universitas Sains Malaysia.
Hasanuddin, 2016. Nilai-Nilai Sosial dan Religi Dalam Tradisi Megalitik di Sulawesi Selatan. Jurnal Oxis.

Comments

Post a Comment