Orang
Melayu di Butta Gowa
http://kalaliterasi.com
Sebagaiman yang tercatat dalam lontara’, orang Melayu di Makassar mempunyai kedudukan yang resmi
dalam Kerajaan Gowa kira-kira pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintahan
Raja Gowa X Tunipallangga Ulaweng (1546-1565), namun dapat kita lihat, ternyata
hanya setengah sebelum itu, telah banyak
orang Melayu yang berdatangan ke Gowa untuk berdagang. Menurut Cense (1999)
dalam tulisan Mappangara (2003), bahwa banyaknya orang Melayu yang berdatangan
ke Gowa, maka mereka mengutus Nahkoda Bonang untuk menghadap pada raja Gowa
agar mereka dapat diberi tempat kediaman untuk menetap.
Dalam tulisan Leonard (1981), bahwa untuk meyakinkan
raja Gowa dan agar mereka itu dapat diberi tempat kediaman menetap, maka ketika
menghadap, mereka membawa beberapa persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil
yang bernama “Kamleti”, 80 perangkat pinacu, satu kodi kain sakalat, satu kodi
kain beludru, dan setengah kodi kain cindai (sutera berbunga). Permohonan
mereka diperkenankan oleh raja Gowa dengan resmi, bahkan mereka mendapat
jaminan dari Raja Gowa Tunipalangga Ulaweng.
Jadi, sebelum pertengahan abad XVI para pedagang
Melayu tinggal dipelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sulawesi. Disinilah awal
munculnya koloni dagang orang Melayu yang berasal dari sebahagian daerah di
semenanjung Melayu, yang sangat penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di
tempat ini. Hubungan yang dibangun dengan orang-orang Melayu turut membantu
memperbaiki peraturan-peraturan di dalam istana, di antaranya mengatur tata
cara berpesta, mengajarkan kepada para pemuda kesenian Melayu, berupa permainan
pencak, lenggo, dan lain sebagainya.
Selain itu peranan orang Melayu sejak awal
kehadirannya di Kerajaan Gowa, juga terlihat dalam penulisan dan penyalinan
buku-buku agama Islam dari bahasa Makassar dan Bugis. Kitab-kitab yang diterjemahkan
seperti: Lontara’ perkawinan
Sayyidina Ali dengan Fatimah Az-Zahrah, Lontara’
Nabi Yusuf, Lontara’ Pencintaan
Qais dan Laila Majnun, Sura’ Bukkuru’ yang
dalam bahasa Bugis dikenal dengan “Paupaunna
Sultanul Injilai”, Budi Istihara, dan lain-lain (Sonda, 1999, dan
Mappangara, 2003).
Hingga pada abad XVII, sabgaian basar perdagangan
dan perkapalan Makassar dipegang oleh orang Melayu, tapi disamping itu juga
orang-orang Makassar juga punya andil pula. Menurut Suriadi Mappangara (2003), bahwa
para raja dan bangsawannya tampil sebagi penyandang dana dan melancarkan
ekspedisi dagang sendiri. Selain dengan pedanga Melayu Kerajaan Gowa juga
melakukan kontak dagang dengan bangsa-bangsa lain, yakni Portugis, Belanda,
Inggris, dan Denmark.
Sumber: Mappangara, Suriadi, dan Irwan Abbas. 2003.
Sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Makassar: Biro KAPP Stda Privinsi Sulawesi
Selatan bekerja sama Lamacca Press.
Ggeh
ReplyDelete