Khatib Bungsu di Negeri Tiro


Khatib Bungsu di Negeri Tiro
makam Datu' Ri Tiro (Khatib Bungsu)


Pada saat Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu dalm pelayarannya menuju Gowa terjadi pertikaian berupa kesalafaham antar mereka. Yang dimana, Khatib Bungsu berpendapat bahwa dalam penyebaran agam Islam, yang baik diajarkan terlebih dahulu kepada masyarakat adalah ajaran taswuf, sebab menurut pengalamannya ajaran itu lebih mudah diterima, namun Khatib Tunggal tidak setuju dan memiliki pendapat yang berbeda. Beliau lebih menghendaki diajarkanya terlebih dahulu syarat-syarat agama Islam. Sehingga Khatib Bungsu singgah di Tiro, sedangkan Khatib Tunggal tetap lanjut pelayarannya menuju daerah Gowa.

Kedatangan Khatib Bungsu di Negeri Tiro, yakni sebuah negeri di pantai Teluk Bone, di bagian timur daerah Bulukumba, ialah dengan adanya berita yang sampai kepada Khatib Bungsu bahwa penguasa negeri itu (Karaeng Tiro) adalah seorang yang berakal budi, yang berhasrat pula menerima kebenaran. Maka, ketika Khatib Bungsu tiba di Tiro, ia langsung mendapat sambutan yang hangat dari karaeng Tiro, bernama I Launru Daeng Biyasa dan mengucapkan kalimat “Syahadat”, pada tahun 1604. Ketika mengetahui karaengnya memeluk agama Islam para pembesar dan rakyat Tiro juga memutuskan untuk mengikuti jejak karaengnya.

Sejak masuknya Islam di negeri Tiro, maka dijadikannya Tiro sebagai pusat pengembangan ajaran Islam yang kemudian berkembanhg ke Barat ke pegunungan Kindang dan Tombolo, ke Utara menyusuri pantai sampai ke dalam daerah Bone, dan ke Selatan Bira. Di Basokeng didirikan pesantern yng dibina langsung oleh Khatib Bungsu. Sistem dakwah yang dilakukan oleh Datu’ Ri Tiro ternyat dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Pendekatan tasawuf yang digunakan oleh Datu Ri Tiro, di gunakan untuk menghadapi ajaran lama yang bertumpuh pada kemampuan black magic.

Penyebaran agama Islam di daerah ini menghadapi hambatan, terutama karena kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat di daerah ini senang menggunakan “doti-doti”, yakni merupakan suatu bagian dari ilmu sihir (Black Magic), yang menggunakan kekuatan simedi. Ilmu sihir yang digunakan masyarakat merupakan bagian dari kepercayaan Patuntung yang berpusat di Gunung Bawakaraeng. Melihat hal yang demikian itu Datu Ri Tiro menggunakan pendekatan tasawuf dalam upaya memurnikan dan menggantikan mistik kebatinan.

Cara yang digunakan oleh Datu Ri Tiro berjalan dengan baik karena didukung oleh para penguasa daerah ini. Berkat kesabaran dan kearifannya, ajaran tasawuf dapat diterima. Khati Bungsu (Datu’ Ri Tiro) mengahbiskan umurnya dalam mengembangkan Islam dan wafat di negeri Tiro.
masjid Datu Tiro



sumber: Mappangara, Supriadi. 2003. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Biro KAPP Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama Lamacca Press.

Comments