Cendikiawan Tana Bone, Kajaolaliddong

Cendikiawan Tana Bone, Kajaolaliddong


Mengenal La Mellong To Suwalle Kajaolaliddong Tau Tongenge ri Gaukna (La Mellong Sang Cendikiawan Kajaolaliddong Manusia yang benar perbuatannya) lahir di kampung Laliddong yang diperkiran lahir pada tahun 1507, tetapi sumber pasti menyebut dia hidup pada abad ke-16,  pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) da Raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangE (1568-1584).

Kajao Laliddong adalah sebuah gelar. Gelar Kajao, karena pola pemikirannya dan tingkah lakunya yang sangat luarbiasa itu, maka La Mellong diberi gelar dari pihak kerajaan yang disebut “Kajao Laliddong”. Kajao yang bererti cerdik, pandai dari kampung Laliddong.
Tentang Lamellong di Tana Bone, didapatkan sumber-sumber tuturan langsung (lisan) yang berupa sebuah cerita rakyat dan catatan sejarah, baik itu lontara maupun tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat buah pikirannya yang menyangkut “konsep tatanegaraan dan tatanan sosial dalam bermasyarakat” dalam bugis dikenal dengan sebutan “ Pangadereng”.

Adapun sistem atau konsep tatanan sosial dan kenegaraan yang di buat oleh La Mellong sebagai berikut:
·         Ade,, merupakan komponen pangadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarkat. Ade’ sebagai pranata sosial yang di dalamnya mengandung beberapa unsur antara lain:
Ø  Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dan sulit untuk diubah.
Ø  Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Ø  Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang baru muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
·         Bicara, merupakan aturan-aturan peradilan dalama arti luas. Bicar lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasaberpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
·         Rapang, artinya sebuah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan kepustusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
·         Wari, berarti sebuah sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban.

Setelah agama Islam masuk di tana Sulawesi Selatan terutama di kerajaan Bugis Bone pada abad ke-17 maka komponen dari Pangngadereng (Ade’, Bicara, Rapang, Wari) bertamabah lagi komponen barunya, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian Kajaolaliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat , baik itu individu maupun komunitas dalam rana Kerjaan, dengan ditambahkannya komponen Sara menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran ini menjadi pedoman bagi seluruh Kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dalam menata ketatanegaraan Kerajaan.

Menurut Bahar Akkase (dosen Ilmu Sejarah UNHAS), Peranan Kajaolaliddong sebagai cendikiawan dan negarawan sangat menonjol pada masa pemerintahan Raja Bone VI La Uliyo BoteE dan Raja Bone VII La Tenri Rawe BongkangE. Pada era pemerintahan Raja Bone Tersebut, Kajaolaliddong telah melahirkan suatu pola dasar dalam pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan . pola dasaryang disebut Pangngadereng (adat istiadat), kemudian menjadi rujukan raja-raja di Sulawesi Selatan.

Isi utama dalam Pangadereng yang digariskan oleh Kajaolaliddong:
·         Lempu nasibawai tau (kejujuran yang dibarengi ketakwaan)
·         Ada tonging nasibawai tike (kebenaran kata yang dibarengi kewaspadaan)
·         Siri’ nasibawai getting (ras malu dibarengi keteguhan hati)
·         Awaraningeng nasibawai nyamekkininawa (keberanian dibarengi kasih sayang)
·         Appesona ri Dewata seuwae (berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
Pemikiran Kajaolaliddong (La Mellong) disampaikan secara dialogis, berupa tanya jawab antara Kajaolaliddong dan Arumpone, pemikiran dasar Kajaolaliddong, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar budaya politik dan norma-norma pengaturan negara, antara lain dapat ditemukan di dalam “Papaseng” Kajaolaliddong, terutama di dalam dialognya dengan Arumpone.

Sumber: Teng, Muhammad Bahar Akkase, Kajaolaliddong, Cendikiawan Bugis Bone: Dalam Perspektif Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Comments

Post a Comment