To-Manurung Soppeng
Menurut
dinasti La Galigo, bahwa orang-orang Soppeng berasal dari kerajaan Luwu,
Raja-raja Luwu atau utusannya selalu pergi di Soppeng untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi antara Matoa atau Onang. Menurut legenda, dahulu kala
datu Luwu menempatkan wakilnya di Soppeng yang diberi yang bertugas
menyelesaikan sengketa yang timbul antara Matoa, Jika kalau Datu Luwu
(Sawerigading) tidak ada di Soppeng. Akhirnya tampil lah Arung Bila mewakili
Sawerigading untuk memerintah di Soppeng.
Suatu
peristiwa alam yang mengerikan, hujan yang tidak pernah turun selama 7 (tujuh)
turunan, sehingga terjadi kekeringan di kebun dan di sawah. Sawah dan ladang
tidak dapat ditanami dan kelaparan menimpa rakyat Soppeng. Arung Bila sebagai
penasehat kerajaan mengambil inisiatif untuk mengadakan musyawarah besar,
dihadirkaan 30 Matoa dari Soppeng Riaja dan 30 Matoa dari Soppeng Rilau.
Pertemuan tersebut membicarakan dan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan
masyarakat Soppeng, mengatasi masalah kelaparan penderitaan masyarakat Soppeng.
masyarakat
Soppeng, mengatasi masalah kelaparan penderitaan masyarakat Soppeng. Sementara
musyawarah berlangsung, tiba-tiba 2 (dua) ekor burung kakaktua ramai
memperebutkan setangkai padi yang berisi bulir-buliranya. Perilaku burung
kakaktua menarik perhatian seluruh peserta pertemuan. Akhirnya musyawarah
terganggu dan Arung Bila menyuruh Matoa Tinco untuk menghalau burung tersebut,
dan mereka mengikuti kemana mereka terbang. Kemudian burung tersebut masuk
kedalam hutan, dan para Matoa mengikutinya juga ke dalam hutan sampai
seterusnya burung tersebut menghilang. Tiba-tiba dia melihat seseorang di
tempat yang disebut Sekkanyili. Orang tersebut berpakaian indah dan duduk di
atas sebuah batu. Arung Bila diberitahukan bahwa orang yang duduk itu adalah
orang dari kayangan bernama Petta Manurungnge ri Sekkanyili. Atas permintaan 60
Matoa, To Manurung pun menerima menjadi Raja.
Menurut
Lontarak Attoriolongnge ri Soppeng, bahwa Latemmamala (Manurungnge ri
Sekkanyili), mengadakan perjanjian pemerintahan dengan keenam puluh Matoa
Soppeng yang diwakili oleh juru bicara Matoa Bila, Matoa Botto dan Matoa Ujung.
Setelah calon Raja dan wakil-wakil rakyat Soppeng tersebut akan mengadakan
perjanjian yang akan menetapkan hak dan kewajiban bagi yang memerintah dan yang
diperintah yang rumusannya disepakati, disusun dan diucapkan oleh tiga orang
Matoa. Maka calon Raja Soppeng didudukkan di atas tanah bangkalak batu yang
datar tempat pelantikan Raja. Matoa Bila, Matoa Botto dan Matoa Ujung secara
bersama-sama berkata:
“Ianamai kiengkang ia murapek, maelokkeng
muamaseang, ajja’ nammullajan, na ikona kipopuang. Mudongiri temma’timpakeng,
musalimuri temmadingikkeng, muwasse temma’tipakkeng. Na ikona poatakkeng,
muwakkeng ri macawe ri mabela, namau anakmeng nappatoromeng mueaiwikkeng teaatoi”.
Artinya:
Adapun
maksud kedatangan kami, wahai yang tidak dikenal: kami ingin dikaruniai,
janganlah menghilang (ke langit), agar engkaulah yang kami pertuan, engkaulah
jaga kami dari gangguan burung pipit (engkau jag harta benda dari gangguan
pencuri), engkau selimuti kami agar kami tidak kedinginan (engkau jamin pakaian
dan perumahann kami, agar kami memperoleh padi yang berisi), dan engkaulah yang
memerintah kami dan membawa kami ke tempat yang dekat dan jauh. Walaupun anak
dan istri kami, jika engkau tidak menyukainya, maka kami pun tidak menyukainya.
Menjawab
Manurungnge ri Sekkanyili:
“Temmubaleccorogak mennang, temmusalangka
lessoka, apak ia makkedamu mau anakku, pattaroku muteawikuteatoi ia makkuto,
mau anakku pattaroku muteawi kuateaitoi”.
Artinya:
Tidak
lah engkau mengicuhku kelak (dan) menurunkan dari tahtaku jika kalian tidak
menyukainya, akupun tidak menyukainya.
Setelah
selesainya perjanjian itu, maka majulah Matoa Bila sebagai wakil dari 60 matoa
dan seluruh rakyat Soppeng bersumpah pula, sebagaimana yang dilakukan oleh
Manurungnge ri Sekkanyili bahwa apabila dari melanggar sumpahnya, maka tujuh
turunan akan hancur lebur, setelah itu seluruh rakyat yang menyaksikan
perjanjian itu sama berteriak sebagai tanda persetujuan.
Sumber: Yahya, Hasbi.”Mitologi Turunnya
La Temmamala di Kerajaan Bugis Soppeng”, Skripsi.
Makassar: Fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik UIN Alauddin Makassar,
2014.
Comments
Post a Comment