TANA WAJO
Berbeda dengan
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan kebanyakan yang mendatangkan Tokoh luar
yang menjadi seorang pemimpin dan Tokoh pemersatu, yang terjadi baik di Butta
Gowa, Tana Luwu, Tana Bone, Tana Soppeng, dan beberapa kerajaan Sulawesi Selatan.
Tak sama dengan terbentuknya Kerajaan Wajo yang mendatangkan Tokoh dari luar
persekutuan yang ada (asli) yang disepakati sebagai pemimpin sentral. Banyak versi
mengenai terbentuknya Tana-Wajo, dan tidak mendekatkan dengan konsep
To-Manurung yang banyak dianut dalam pembentukan Kerajaan-kerajaan yang ada di
Sulawesi Selatan. Tapi dengan halusnya masyarakat mengatakan “......tidak diketahui asalnya dan tidak diketahui
orang tuanya”. Tokoh ini memeperlihatkan keberhasilannya dalam mendatangkan
kemakmuran dan ketentraman bagi orang banyak yang dipimpinnya.
Terbentuknya
Tana Wajo, ada banyak versi cerita rakyat yang menceritakan terbentuknya Tana-Wajo.
Setiap cerita rakyat itu, pada umumnya memberikan gambaran bahwa seseorang
pemimpin yang diharapkan berhasil dalam kepemimpinannya bukanlah terletak pada
tokoh yang “......tidak diketahui asal
kedatangannya”. Atau seseorang “...yang
luar biasa cara kehadirannya”. Cerita-cerita ini menunjukkan adanya tema
yang sama kuatnya, yaitu “...bahwa
pemimpin yang diperlukan adalah seseorang yang telah menunjukkan hasil-hasil
perbuatan atau pekerjaan yang luar biasa, dan dapat dinikmati oleh setiap orang”.
Salah satu
cerita terbentuknya Tana- Wajo yakni, cerita tentang We Tadampali’To-masa uli’e,
puteri Datu Luwu. Puteri ini dihadapkan dengan penyakit kulit. Agar penyakit
yang diidap itu tidak menular kepada orang lain maka, puteri itu, berdasarkan
keputusan Ade’ Tana-Luwu, harus dikucilkan dari penduduk Tana-Luwu. Atas dasr itu
ia dihanyutkan bersama pelayan dan pengawalnya, baik laki-laki maupun
perempuan, dangan sebuah rakit di Teluk Bone. Datu Luwu (La Mallalae) membekali
puterinya dengan sebilah kelewang yang disebut a Teakasi, sebilah tombak yang dinamai La Ula’balu dan sebilah badik yang dinamakan Cobo’e. Benda-benda ini merupakan senjata tajam yang bertatakan
hiasan keemasan dan benda itu dijadikan pusaka atau regalia Kerajaan
Bettempola.
Beberapa
hari kemudian, rakit yang membawa We Tadampali’ dan rombongannya terdampar di
pantai Akkotengeng. Rombongan itu membeuat perkampungan di dekat sebatang pohon
besar yang berna Bajo. Dari kata
inilah berasal nama Tana Wajo.
Satu versi
lain, tetapi dengan alur cerita yang sama, menyebutkan nama puteri Datu Luwu’
itu We Tenri apungeng. Sang puteri terserang penyakit kulit. Maka Datu Luwu’
yang bernama Wero rilangi mengucilkannya ke pegunungan Tana Luwu’. Beberapa waktu
kemudian, saudara laki-laki We Tenri apungeng, bernama Ana’kaji, menggantikan
ayahnya menjadi Datu Luwu, bermimpi bahwa We Tenri apungeng dapat sembuh dari
penyakitnya di pantai Doping. Oleh karenanya tu, dibuatkanlah rakit dan puteri
itu dihanyutkan. Bersam rombongannya hingga terdampar di pantai Doping.
Selain itu
masih terdapat kisah yang senada dengan versi lain. Cerita itu berwal dari
mimpi. Seorang dukun bernama Pabaur, melalui mimpinya, dia diperintahkan
menemui dan memelihara We Tenri apuangeng. Mengikuti petunjuk mimpinya itu,
maka dipindahkannya puteri ke bukit Lamacongi’.
Dari cerita-cerita
itu baik menyebut nama tokoh We Tadampuli maupun We Tenri apuangeng
mengungkapkan bahwa berkat jilatanbeberapa kali oleh kerbau balar (tedong
buleng), maka sembuhlah puteri itu dari penyakitnya. Untuk sang puteri bersam
pengikutnya bersama-sam membuka lahan pertanian dengan rajinya. Akhirnya kecantikan
puteri pun kembali. Dibuatkkanlah rumah berbentuk rumah panggung, dengan tiang yang tinggi, yang disebut dengan
Bettempola.
Sang
puteri yang cantik dan molek itu bertemu dengan La Mallu Toanging-raja dan
selanjutnya diperisterikan oleh pengeran itu. Beberapa versi mengatakan bahwa
La Mallu Toanging-raja seorang pangeran dari Tana Bone yang tersesat dalam
perburuannya. Sedangkan versi lain mengatakan bahwa La Mallu Toanging-raja
seorang Arung (raja) Bettempola, yang juga memiliki rumah dengan tiang yang
tinggi yang sam dengan rumah yang dimiliki oleh puteri.
sumber: Mattulada.1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press.
sumber: Mattulada.1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press.
Comments
Post a Comment