Peribadatan Ritual Kuno pada Zaman Pra-Islam di Tana Bugis Makassar


Peribadatan Ritual Kuno pada Zaman Pra-Islam di Tana Sulawesi Selatan


1.Penyembahan pada Dewa Matahari dan Dewa Bulan
Dalam Description Historique du Royaume de Macacar yang dituliskan dalam bahasa Perancis, penulis Gervaise memberikan penjelasan mengenai agama tua di Makassar. Menurutnya, orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah dewa matahari dan Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya matahari. Mereka tidak memiliki rumah suci atau kuil untuk melakukan penyembahan 
tersebut, mereka melakukanya di tempat yang terbuka.

2.  Pemujaan terhadap Kalompoang/Arajang (Ornament)
kalompoang (Makassar) atau Arajang (Bugis) yang artinya kebesaran. Yang dimaksud dengan kebesaran yakni sesuatu atau sejumlah benda yang dianggap sakti atau keramat. Pemujaan terhadap Kalompoang/Arajang ini , menandakan adanya hubungan dengan kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Jadi, ada hubungannya dengan hal mistik. Dengan pengertian, bahwa arwah nenek moyang ini akan mendatangkan keselamatan terhadap anak cucu yang masih hidup serta isi negeri seluruhnya. Melalaikan pemujaan ini menurut anggapan mereka akan terkena kutukan.

Pemujaan terhadap Arajang adalah salah satu cara pemujaan terhadap arwah nenek moyang, karena selain dari Arajang ini yang hanya terdapat pada golongan raja-raja maka rakyat biasa pun mereka namakan dengan Pantasa’ (semacam ranjang tempat tidur atau semacam rumah-rumahan yang bertiang dan berukuran kira-kira 70-100 cm). Sebagaiman dengan arajang, maka pantasa’ ini setiap malam jum’at saat terbenamnya matahari di dalamnya dinyalakan lilin yang terbuat dari kemiri. Ini dimaksudkan bahwa pada malam Jum’at leluhur turun ke rumah-rumahan itu.

Arajang ini biasanya disimpan di tempat yang tinggi, yakni di atas loteng rumah. Benda ini hanya dapat dilihat sekali setahun atau pada suatu upacara kerajaan, seperti misalnya pada saat pelantikan raja baru, pada perkawinan keluarga kerajaan, barulah arajang ini dapat dilihat orang. Arajang ini juga dapat di perlihatkan ketika negeri tertimpa bencana.

3.  Pemujaan terhadap Saukang
Saukang merupakan sebuah rumah-rumahan yang memiliki tinggi kira-kira 100 cm besranya kira-kira 2x2 meter dan bertonggak. Pada masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam kepercayaan terhadap Saukang yang dianggap sakti dan keramat, serta memiliki kekuatan gaib, seperti misalnya “Pusat Bumi”, batu yang dianggap “yang empunya bumi”. Pohon yang dimuliakan karena dianggap memiliki kesaktian. Maka saukang ini diletakkan di dekat atau di samping batu, banda, pohon, dan sebagainya.

Upacara terbesar biasanya terjadi pada ketika selesai panen padi, maka oleh dukun ditetapkannyalah hari baik, bulan baik untuk melakukan upacara pemujaan. Pemujaan ini dilakukan dengan i’tikad untuk pemujaan (penghormatan) terhadap yang empunya tanah.

Sumber:Mappangara, Suriadi, Abbas, Irwan. 2003. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Biro KAPP Setda Provinsi Sulawesi Selatan Bekerja sama Lamacca Press.

Comments

  1. Masih ada kesalahan penulisan ketiak=ketika...
    Terlalu semangat kayaknya nak.

    Tulisan ini bagus untuk mengenalkan sekaligus memisahkan mana budaya, mana agama

    Semoga pada tulisan selanjutnya diberikan penekanan lebih lagi tentang hal ini, hingga pada akhirnya praktek kebudayaan yang tidak relevan dengan agama dapat ditinggalkan secara total.
    Good luck nak

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas masukannya Bunda. dan alhamdulillah kami sudah memperbaiki ketikan yang salah. terima kasih bunda

    ReplyDelete
  3. Kalau judulnya emang betul Tana (bahasa daerahkah) atau typo

    ReplyDelete
    Replies
    1. iye, Tana (bahasa daerah) jadi tdk typo memang disengaja. terima kasih komentnya.

      Delete

Post a Comment